Intelijen di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kepentingan dan peran, demikian seperti yang dijelaskan oleh Direktur Riset ISI (Indo-Pacific Strategic Intelligence) Aishah Rasyidilla Kusumasomantri. Lembaga intelijen di Indonesia seperti BIN, BAIS, dan Baintelkam Polri kerap menghadapi berbagai tantangan terkait tugas dan peran masing-masing.
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Center for Security and Foreign Affairs Universitas Kristen Indonesia (CESFAS UKI) bekerja sama dengan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) bertajuk “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring atau Kuasa, Sebuah Diskursus”, Aishah menyampaikan pendapatnya. Laporan Amnesty International juga menyoroti prevalensi pengawasan digital yang berlebihan dan potensi ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan privasi.
Aishah menjelaskan fungsi utama intelijen dalam memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, jenis-jenis intelijen, dan pentingnya etika dalam kegiatan intelijen. Intelijen dibagi ke dalam beberapa kategori, seperti Human Intelligence (HUMINT), Technical Intelligence (SIGINT, GEOINT), dan Open Source Intelligence (OSINT).
Tantangan utama yang dihadapi intelijen di Indonesia adalah penentuan peran dan tugas yang jelas, terutama dalam konteks tumpang tindih antara TNI dan Polri dalam ranah intelijen sipil. Intelijen selalu berada di ranah abu-abu antara etika dan kepentingan, yang sering kali menimbulkan dilema bagi negara demokratis yang lebih menyuarakan ancaman eksternal daripada negara otoriter yang lebih fokus pada ancaman internal.
Meskipun demikian, aktivitas penyadapan tetap dianggap penting untuk dilakukan oleh intelijen dalam mengungkap tindakan kriminal yang dapat merugikan masyarakat. Namun, penyadapan juga perlu mempertimbangkan kepentingan negara dan prinsip-prinsip kepentingan intelijen.
Sumber: https://jabar.idntimes.com/news/indonesia/galih/antara-tni-dan-polri-intelijen-di-indonesia-masih-abu-abu?page=all
