Oleh: Vimelia Hutapea
Suara USU, Medan. Kebiasaan Marsitogol di daerah Mandailing dan Batak Angkola adalah salah satu contoh budaya yang hampir tenggelam oleh zaman. Marsitogol sendiri merupakan kegiatan bernyanyi atau senandung yang menjadi representasi dari rasa kegembiraan maupun duka yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
Marsitogol memiliki berbagai tujuan, tergantung pada upacara adat yang dilaksanakan. Ada Marsitogol untuk upacara perkawinan dan upacara menyambut kelahiran bayi (mencukur rambut bayi), serta Marsitogol untuk upacara kematian. Dengan kata lain, Marsitogol dapat disampaikan pada upacara gembira, yang dalam bahasa adat setempat disebut siriaon dan upacara sedih yang disebut siluluton.
Namun, dalam pesta pernikahan atau upacara adat lainnya, Marsitogol sudah jarang atau bahkan hampir tidak pernah disenandungkan, khususnya di daerah Mandailing dan Angkola yang merupakan asal mula kebiasaan ini. Di sinilah peran anak muda menjadi sangat penting untuk tidak lalai dalam menjaga kebiasaan adat dan mempelajarinya agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya. Lirik senandung saat Marsitogol sangat menyayat hati jika dinyanyikan pada acara duka. Semua orang akan menangis mendengar alunan senandung ini.
Lalu, apa salah satu peran pemuda dalam menjaga warisan budaya ini? Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah belajar dari pemuka adat setempat dan mempraktikkannya. Tidak perlu menerapkannya terlalu sering dalam kehidupan sehari-hari, tetapi cukup dengan mengetahui dan menurunkannya kepada anak cucu kelak. Dengan demikian, warisan budaya ini dapat terus hidup dan tidak terlupakan.
Redaktur: Feby Simarmata
Related
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.