Reporter: Eme Arapenta Tarigan/Yeremia Jonathan
Suara USU, Medan. Gemar Belajar (GEMBEL) Faukutlas Hukum (FH) Universitas Sumatera Utara (USU) menggelar Kuliah Umum bertajuk “Membangun Kesadaran Politik: Menilik Isu Kotak Kosong Terhadap Kualitas Demokrasi di Indonesia” pada Sabtu, 19 Oktober 2024. Acara yang berlangsung di Aula Abdul Hakim FK USU ini dihadiri oleh puluhan peserta yang antusias mengikuti diskusi.
Kuliah Umum ini diselenggarakan dengan tujuan mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda, agar lebih peduli dan kritis terhadap isu-isu politik. “Kami mengadakan kegiatan ini untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama anak muda, terkait isu-isu politik seperti kotak kosong. Terlebih, kita akan menghadapi pesta demokrasi dalam waktu dekat, sehingga ini menjadi dasar dilaksanakannya kuliah umum,” ungkap Dicky Wahyudi Ginting, Ketua Panitia Gelora Sparta 2024.
Kuliah Umum yang dimulai pada pukul 10:00 WIB ini menghadirkan 3 narasumber yang ahli di bidang politik. Mereka adalah Mutia Atiqah selaku Ketua KPU Kota Medan, Yusrin, S.H., M.H, selaku Dosen HTN FH USU, dan Kevin Angdreas selaku Ketua Kajian Riset Strategis PPI London.
Ketiga pemateri sepakat bahwa ketika hanya ada satu pasangan calon dalam pemilihan sering kali disebabkan oleh kurangnya persaingan politik atau dominasi partai-partai besar. Hal ini dianggap sebagai indikasi rendahnya partisipasi politik masyarakat atau adanya monopoli kekuasaan oleh kelompok tertentu. Masyarakat yang tidak puas dengan satu-satunya calon sering memilih kotak kosong sebagai bentuk protes.
Mereka juga menekankan bahwa keberadaan kotak kosong dalam demokrasi bisa menjadi pertanda krisis representasi politik. Kondisi ini dapat memicu apatisme politik, di mana masyarakat merasa pilihan politik mereka terbatas dan suara mereka tidak berdampak karena calon yang tersedia tidak mencerminkan kebutuhan atau aspirasi mereka.
Demokrasi menghadapi berbagai tantangan akibat kotak kosong. Pertama, banyaknya suara untuk kotak kosong dapat mencerminkan rendahnya kepercayaan publik terhadap calon tunggal, yang dapat mengakibatkan pemimpin terpilih kehilangan legitimasi. Pemimpin dalam kondisi ini sering dianggap tidak representatif oleh mayoritas masyarakat, sehingga memengaruhi efektivitas kepemimpinan mereka
Kedua, fenomena ini mengurangi tingkat persaingan politik. Persaingan politik memastikan bahwa para calon bersaing secara adil dan masyarakat memiliki banyak pilihan sehingga pemilu yang sehat sangat penting. Ketika kompetisi melemah dan hanya ada satu calon, pemilu lebih bersifat simbolis daripada mencerminkan esensi demokrasi yang sebenarnya.
Dicky berharap kegiatan ini memberikan pemahaman baru bagi para peserta. “Semoga kuliah umum ini bisa memberikan pembelajaran dan wawasan dari materi yang disampaikan oleh narasumber. Kami berharap agar semakin banyak masyarakat, bukan hanya mahasiswa hukum, yang lebih peka terhadap isu politik,” tutupnya.
Redaktur: Feby Simarmata