Dalam sebuah keluarga, peran kasih sayang dari kedua orang tua menjadi fondasi utama yang dibutuhkan seorang anak. Dukungan emosional ini tidak hanya sekadar membentuk kepribadian, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan kebahagiaan anak. Namun, tidak semua anak beruntung mendapatkan cinta tersebut. Beberapa justru menghadapi kekerasan fisik atau emosional dari orang tua mereka. Realitas pahit inilah yang diangkat dalam novel “Di Tanah Lada” karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, atau yang lebih dikenal dengan nama Ziggy Z.
Di Tanah Lada adalah sebuah kisah perjalanan anak-anak yang harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua mereka. Dengan sudut pandang Salva atau Ava, pembaca diajak menyelami hari-hari penuh ketakutan dan mimpi-mimpi polosnya untuk menemukan kedamaian. Ava adalah seorang anak kecil dengan kecerdasan yang berbeda dari anak seusianya. Saat usianya menginjak tiga tahun, ia menerima hadiah istimewa dari Kakek Kia, yaitu sebuah kamus Bahasa Indonesia. Tujuan sederhana sang kakek adalah agar Ava mampu berbicara dengan baik dan benar.
Ava tinggal bersama kedua orang tuanya, Papa dan Mama. Namun, kehidupan keluarganya tidak harmonis. Papanya adalah sosok yang keras dan kasar, sering memarahi Ava tanpa alasan yang jelas. Sementara Mamanya adalah sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Pandangan Ava mulai berubah ketika ia bertemu dengan P, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tinggal di rumah susun Nero. P juga memiliki papa yang jahat, tetapi tidak mengenal sosok mamanya. Dari cerita P, Ava mendapat pemahaman bahwa tidak semua mama selalu peduli pada anaknya.
Melalui kisah Ava dan P, pembaca dapat menemukan banyak pelajaran berharga tentang cara pandang dan perasaan anak-anak. Mereka mengajarkan kita untuk lebih memahami pemikiran dan pandangan anak-anak dalam melihat kehidupan, yang sering kali jauh lebih kompleks daripada yang terlihat di luar. Dua sosok anak ini membuka mata kita pada dunia kepolosan, kejujuran, dan keingintahuan yang tak terbatas. Dengan latar belakang yang mirip, muncul pertanyaan sulit tentang perlakuan orang dewasa pada anak-anak dan bagaimana anak-anak memprosesnya.
Novel “Di Tanah Lada” berhasil menggugah emosi pembaca dan memaksa kita merenungkan lagi betapa jauhnya perbedaan dunia pemikiran anak-anak dan orang dewasa. Dunia anak-anak penuh kepolosan dan kejujuran, sementara dunia orang dewasa sering diwarnai oleh kompleksitas dan emosi tersembunyi. Anak-anak memproses kehidupan berdasarkan pemahaman mereka yang terbatas, kadang salah menafsirkan tindakan atau kata-kata orang dewasa. Perspektif sederhana yang dimiliki anak-anak bisa membingungkan bagi orang dewasa, sehingga komunikasi dengan mereka memerlukan perhatian khusus.