Perang Jawa antara Pangeran Diponegoro dan Belanda dipicu oleh pergantian Residen Belanda yang baru, Antonie Hendrik Smissaert, pada tahun 1823. Residen ini terkenal dengan gaya hidup mewah dan kebenciannya terhadap Pangeran Diponegoro. Ketiadaan pemimpin di Keraton Yogyakarta semakin membuat Residen Smissaert bertindak semena-mena terhadap pejabat kesultanan dan melanggar adat istiadat Jawa. Tingkat pejabat Belanda juga semakin merendahkan dengan mudahnya masuk ke area keraton dan menjalin hubungan gelap dengan putri keraton. Konflik antara Diponegoro dan Smissaert semakin memuncak setelah peristiwa saling mempermalukan di depan umum, di mana Diponegoro secara terbuka menentang tindakan Residen Belanda. Kehadiran anjir atau tiang pancang sebagai tanda rencana pembangunan jalan baru yang mengganggu tanah milik Diponegoro semakin memperkeruh hubungan keduanya. Konflik personal dan moral antara Diponegoro dan Residen Belanda ini kemudian berkembang menjadi Perang Jawa yang terkenal.