OpenAI mengungkapkan bahwa semakin banyak kelompok dari China menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk kegiatan tersembunyi. Temuan ini dijelaskan dalam laporan terbaru yang dirilis oleh OpenAI pada Kamis lalu. Meskipun operasi yang terdeteksi berskala kecil dan ditargetkan pada audiens tertentu, OpenAI mencatat adanya perluasan dalam taktik dan cakupan aktivitas yang dilakukan, terutama sejak kemunculan ChatGPT pada akhir 2022. Kekhawatiran terhadap penyalahgunaan teknologi AI generatif terus meningkat, karena teknologi ini mampu menghasilkan teks, gambar, dan audio yang menyerupai manusia dengan cepat dan mudah.
Laporan rutin yang dirilis oleh OpenAI juga mengungkapkan aktivitas berbahaya di platformnya, seperti pembuatan dan debugging malware, serta produksi konten palsu untuk situs web dan media sosial. Contoh penyalahgunaan termasuk pembuatan konten media sosial yang menyoroti isu politik dan geopolitik terkait China, seperti kritik terhadap narasi pro Taiwan dalam game atau tuduhan palsu terhadap seorang aktivis Pakistan. Bahkan, konten yang kritis terhadap kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump juga dihasilkan menggunakan teknologi AI.
OpenAI juga mendeteksi penggunaan teknologi AI untuk mendukung kegiatan siber, seperti riset terbuka, modifikasi skrip, hingga pengembangan alat peretasan dan otomatisasi media sosial. Beberapa operasi juga memproduksi konten provokatif yang mendukung kedua sisi dari isu-isu politik kontroversial. Meskipun OpenAI telah memberikan laporan mengenai temuan ini, Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa klaim OpenAI tidak berdasar. Mereka menyatakan bahwa pemerintah China sangat memperhatikan tata kelola kecerdasan buatan dan menentang penyalahgunaan teknologi tersebut.
Dalam menghadapi kritik terhadap laporannya, OpenAI tetap mempertahankan posisinya sebagai salah satu perusahaan swasta paling bernilai di dunia setelah mengumumkan pendanaan sebesar 40 miliar dolar AS, yang membuat valuasinya mencapai 300 miliar dolar AS.