Sejumlah koalisi masyarakat sipil mengapresiasi lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban (DBK) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diteken Presiden Prabowo Subianto sejak 18 Juni lalu. Meskipun agak terlambat, PP tersebut dianggap sebagai langkah awal penting dalam mendukung implementasi DBK yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 12/2022 tentang TPKS.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Asry Alkazahfa, PP DBK-TPKS masih perlu diperhatikan karena belum mengatur dengan jelas sumber pendanaan DBK dari anggaran negara. Namun, pentingnya kejelasan pendanaan negara tersebut agar dapat memberikan dukungan finansial yang stabil.
Selain itu, ICJR merekomendasikan agar negara menetapkan kebijakan alokasi anggaran dengan persentase tertentu dari PNBP Penegakan Hukum untuk pendanaan DBK. Asry juga menyoroti peran penting aparat penegak hukum dalam pelaksanaan restitusi yang diatur dalam PP DBK-TPKS. Koordinasi antara LPSK dan kejaksaan untuk penghitungan aset atau harta kekayaan pelaku dianggap penting untuk menjamin efektivitas pelaksanaan restitusi.
Untuk itu, ICJR bersama kelompok masyarakat sipil lainnya mengajukan permohonan kepada Bappenas, Kementerian Keuangan, dan LPSK agar berkoordinasi untuk memperjelas alokasi anggaran negara terkait DBK. Kepolisian dan kejaksaan juga diminta untuk berkoordinasi sejak tahap awal pemeriksaan kasus kekerasan seksual guna menilai aset atau harta kekayaan pelaku sebagai jaminan pembayaran restitusi korban.
Selain ICJR, beberapa koalisi masyarakat sipil lain yang turut menyoroti PP DBK-TPKS antara lain KOMPAKS, IPPI, Yayasan Lambuina, Yayasan Swara Parangpuan Sulut, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Forum Pengada Layanan, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Masyarakat, SAFEnet, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Rifka Annisa WCC, Jakarta Feminist, HWDI, Perkumpulan DAMAR, dan WCC Jombang.