Penulis: Alvina Damayanti/Annisa Fadhilah/Putri Anantasia Ramadani
Suara USU, Medan. Dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, seringkali kita temui berbagai macam orang dengan pekerjaan yang berbeda-beda. Salah satu dari banyaknya pekerjaan yang sering kita temui ialah pedagang kaki lima. Pada umumnya, pedagang yang sering terlihat dalam kondisi fisik yang sempurna. Namun, ternyata terdapat individu-individu istimewa yang memiliki semangat juang luar biasa, yaitu para pedagang disabilitas. Keterbatasan fisik yang dimiliki tidak sedikitpun menurunkan semangat juang mereka dan berkontribusi bagi masyarakat.
Salah satu contoh sosok tersebut ialah Maratua Siregar yang biasa dipanggil pak Regar. Selama 54 tahun hidupnya, banyak manis dan pahit hidup yang beliau lalui. Dimulai dari tahun 1994, pak regar pindah dari tanah kelahirannya, yaitu Mandailing Natal ke Tarutung dengan harapan mendapatkan pekerjaan. Namun, manusia hanya bisa berencana selebihnya Tuhan yang mengatur, begitulah perumpamaan yang tepat dengan kondisi Regar. Sudah 1 tahun di Tarutung, namun pekerjaan tak kunjung ada dan pada akhirnya tepatnya tahun 1995 beliau memutuskan untuk pindah ke Gaperta Ujung dan menetap di sana sampai sekarang. Beliau tinggal bersama abang pertamanya, semenjak ditinggal pergi selamanya oleh kedua orang tua.
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki beliau, tentu tidak banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dan menjadi pengemis adalah hal yang paling mungkin dilakukan. Selama 20 tahun, Regar melakukan kegiatan ini dari terbit hingga tenggelam sang fajar, dari satu tempat ke tempat lain dengan harapan mendapat belas kasihan orang lain. Selama itu juga, Regar bertahan dengan pendapatan yang tak menentu tiap harinya dan perasaan was-was jika sewaktu-waktu digusur oleh pihak Dinas Sosial. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan tahun berganti tahun hingga pada suatu hari naas menimpa Regar, beliau ditangkap oleh pihak Dinas Sosial.
Beliau dan pedagang lainnya dibawa ke kantor untuk didata, lalu dibawa ke daerah Binjai dan dikumpulkan di sebuah aula untuk diberikan arahan dan pembinaan oleh petugas satpol PP. Semenjak saat itu beliau tidak lagi melakoni pekerjaan mengemis karena beliau merasa begitu hima. Mereka dibentak, dipaksa untuk ikut, dan dikumpulkan untuk mendengarkan arahan yang dimana arahan tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Katanya akan mendapatkan bantuan hidup, katanya akan diberikan pemberdayaan, tetapi pada akhirnya semuanya hanya sekedar katanya. Hingga sekarang tidak pernah ada bantuan yang sampai ditangan mereka baik dari pemerintah pusat maupun lingkungan sekitar tempat tinggal.
Melihat ketidakpastian tersebut, Regar akhirnya memutuskan untuk menjadi pedagang tisu dan masker. Berlokasi di depan RM Simpang Raya, Jl. Gatot Subroto No 305, Kota Medan. Sudah 1,5 tahun berjualan tisu dan masker dilakukan, meskipun pendapatan yang dihasilkan tidak banyak, tetapi setidaknya lebih menjamin dan mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Beliau berjualan dari pukul 10.00 WIB – 19.00 WIB. Setiap harinya, beliau diantar jemput oleh kenalan dengan menaiki becak barang dan membayar sebesar Rp 60,000,-. Untuk belanja barang biasanya sekitar 1 kali dalam seminggu tergantung seberapa habis dagangan. Harga yang ditawarkan beragam mulai dari Rp 3,000,- (tisu ukuran sedang), Rp 10,000,- (tisu isi 250 lembar), dan Rp 15,000,- (masker duckbill per kotak). Dilihat dari segi harga sangatlah murah dan terjangkau, namun masih ada saja oknum-oknum yang tidak punya hati seakan-akan mempermainkan. Lagaknya akan membeli banyak, tapi hanya sekedar bertanya ujung-ujungnya tidak jadi membeli. Jika seperti itu, hanya tersenyum dan sabar yang bisa dilakukan Regar. Meskipun begitu, beliau tetap semangat dalam berdagang, sudah nyaman adalah alasan utama yang dikatakan beliau. Nyaman dalam segi pendapatan yang pasti ada tiap harinya, nyaman tidak digusur-gusur, dan nyaman tidak ditatap rendah lagi. Namun, dua keluhan Regar selama berdagang yaitu tempat yang tidak efisien dan biaya untuk ongkos transportasi yang terlalu mahal menurutnya. Kondisi cuaca yang tidak menentu membuat pak Regar kesulitan untuk berpindah tempat terlebih karena kondisi fisiknya dan ongkos antar jemput yang terlalu mahal seakan mencekik beliau, “untung tidak pasti , pengeluran sudah pasti,” ucap Regar.
Harapan Regar terkhususnya kepada Pemerintah dan lembaga-lembaganya, agar lebih memberikan perhatian terutama bagi penyandang disabilitas dengan memberikan bantuan dan jaminan sosial, serta memberikan fasilitas dan akses yang mudah dijangkau. Bagi pedagang sepertinya, diharapkan diberikan fasilitas berupa tempat yang efisien dan strategis serta transportasi untuk memudahkan ketika berjualan.
Cerita Regar mengajarkan kita bahwa semangat pantang menyerah adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan. Keterbatasan tidak menjadi penghalang untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Beliau juga membuktikan, bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi alasan untuk menjadi bahan kasihan orang lain dan dipandang sebelah mata. Mari kita berikan apresiasi dan dukungan kepada Regar dan pedagang disabilitas lainnya. Dengan begitu, mereka dapat terus berkontribusi bagi masyarakat.
Artikel ini merupakan publikasi tugas mata kuliah Praktek Perencanaan Kesejahteraan Sosial dengan Dosen pengampu: Dr. Hairani Siregar S.Sos., M.SP
Redaktur: Balqis Aurora